Senin, 10 Februari 2020

Arsitektur Tradisional Bali, Rancangan Dasar, Filosofi, Dan Cirinya

Pada artikel ini akan membahas tentang Arsitektur Tradisional Bali adalah Konsep Dasar, Filosofi, dan Cirinya.

Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan penduduk Bali yang sudah berkembang secara bebuyutan dengan segala aturan-hukum yang diwarisi dari zaman dahulu.

Sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan yang lain, hingga pada penyesuaian-pembiasaan oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.

Konsep Dasar

Arsitektur tradisional Bali memiliki desain-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya yaitu:

1. Orientasi Kosmologi atau diketahui dengan Sanga Mandala

Sanga Mandala ialah teladan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu adalah:
  1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
  2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
  3. Sumbu natural: Gunung dan Laut

2. Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu

3. Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga

Tri Angga yaitu salah satu bab dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.
  • Utama, bab yang ditempatkan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
  • Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
  • Nista, bagian yang terletak di bab bawah, kotor, rendah, kaki.
Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala insan

Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada organ badan insan. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali yakni : 
  • Astha
  • Tapak
  • Tapak Ngandang 
  • Musti
  • Depa
  • Nyari
  • A Guli 
Serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain bangunan tradisional mesti memiliki faktor lingkungan ataupun mengamati kebudayaan tersebut.

Filosofi Arsitektur Bali

Filosofi arsitektur tradisional Bali pada abad prasejarah hingga kekuasaan Majapahit (abad XV – XIX) dianggap sebagai era berkembang dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali yang dilandasi oleh lontar asta kosala-kosaili dan lontar asta bumi. (Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan)
  • Asta kosala-kosali yaitu hukum ihwal bentuk-bentuk simbol pelinggih, adalah ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan dekorasi.
  • Asta bumi adalah aturan wacana luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar-pelinggih.
Varian huruf yang fundamental timbul di antara masyarakatdi tempat dataran dengan pegunungan serta masyarakatdi daerah Bali Selatan dengan masyarakatdi tempat Bali Utara. 

Meskipun demikian, terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik pola arsitektur tradisional Bali, adalah prinsip tri angga atau tri loka, rancangan kosmologis (tri hita karana), dan orientasi kosmologis.

A.  Prinsip Triangga atau Triloka

Prinsip Triaangga atau Triloka ialah rancangan keseimbangan kosmologis yang dicetuskan oleh Empu Kuturan. Dalam prinsip ini terdapat tiga tata nilai ihwal relasi alam selaku “wadah” dan manusia selaku “pengisi”. Tata nilai ini memperlihatkan gradasi tingkatan dengan spirit ketuhanan berada pada tingkatan paling tinggi.

Secara aplikatif, filosofi tri angga mampu dilihat dari gestur bangunan yang menunjukkan tiga tingkatan, adalah kepala badan-kaki. Dari filosofi tri angga dan Triloka ini, meningkat konsepsi-konsepsi lain, seperti konsep kosmologis tri hita karana dan konsep orientasi kosmologis

B.  Konsep Kosmologis (Trihitakarana)

Dalam rancangan tri hita karana terdapat “tiga bagian” penghubung antara alam dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup, yakni jiwa, raga, dan tenaga.

Tiga sumber kebahagiaan tersebut akan tercipta dengan memperhatikan keserasian relasi antara insan dengan Pencipta, manusia dengan insan, serta insan dengan alam.

C.  Orientasi Kosmologis

Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan Astha Dala (delapan penjuru mata angin) dengan dewata nawa sanga (sembilan mitologi tuhan-tuhan penguasa mata angin). Falsafahnya tetap menitikberatkan upaya mempertahankan keserasian dan keharmonisan alam. 

Orientasi ini ditentukan berlandaskan:

Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan isyarat arah (kajake arah gunung dan kelodke arah laut).
Gunung Agung ialah orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk kawasan yang tidak berdekatan dengan Gunung Agung, lazimnya berorientasi ke pegunungan terdekat. 

Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi menjadi dua bagian, ialah Bali Utara dan Bali Selatan.  

Oleh karena itu, pengertian kaja bagi orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu Kaja-keloddan Kangin-kauh.

Ciri Khas Arsitektur di Bali

Selain diketahui dengan kecantikan pulau dan pantainya, daya tarik Bali juga kental dengan ciri khas arsitekturnya yang berlawanan dan punya unsur berpengaruh. Hampir semua bangunan bernuansa Bali menawarkan  material yang kental dengan nuansa alami dan juga pahatan yang indah pada pintu.

Tidak heran kalau arsitektur Bali  sangat disenangi oleh seluruh pelosok Indonesia maupun mancanegara. Melihat keunikan dari arsitektur khas pulau dewata ini

Ciri khas dari bangunan arsitektur di Bali.

1. Harmoni dengan alam

Salah satu bagian yang kental dari arsitektur di Bali  yaitu desain arsitektur yang harmoni dengan lingkungan alam. Arsitektur harmoni ini ialah  abjad dan inheren selaku akhlak  dasar arsitektur Bali.

Dengan konsep Tri Hita Karana, arsitektur Bali biasanya terdiri  dari 3 komponen penghubung kerharmonisan adalah, jiwa, raga dan tenaga. Tiga unsur ini akan menciptakan keselarasan hubungan antara lingkungan alam, antar-manusia serta insan dengan Tuhan. 

Biasanya, bangunan tersebut ditandai dengan material yang kental akan nuansa alam mirip batu-batuan alam ataupun bambu.

2. Adanya goresan di batu atau patung

Sejak kehadiran kerajaan Majapahit di sekeliling era 15, arsitektur Bali secara biasa menerima dampak dari Hindu. Kedatangan Majapahit ini meninggalkan kebudayaan di Bali berupa teknik pahatan di kerikil.

Karya-karya pahatan dari batu tersebut lalu ditaruh di depan rumah dan dipakai selaku pura atau tempat ibadah orang Hindu.

Seiring kemajuan jaman, selain kedatangan pura kecil di depan rumah, patung juga menjadi salah satu gaya arsitektur yang indentik dengan Bali.

3. Struktur ruang yang  rapi

Gaya arsitektur Bali dibuat dengan konsep Tri Angga yang ialah desain keseimbangan.  Tri Angga  ialah pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali, yang memberikan tiga tingkatan adalah,
  • Utama atau kepala. Bagian ini ditempatkan paling tinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap. Pada arsitektur tradisional, bagian ini menggunakan atap ijuk dan alang-alang. Namun, seiring kemajuan bagian atap mulai memakai materi terbaru mirip, genteng.
  • Madya atau tubuh. Bagian tengah dari bangunan ini diwujudkan dalam bentuk bangunan dinding, jendela dan pintu.
  • Nista atau kaki merupakan  bab yang terletak di bawah dari sebuah bangunan. Bagian ini diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah yang dipakai selaku penyangga. Biasanya, bagian ini terbuat dari batu bata atau batu gunung.

4. Struktur Rumah Tradisional Bali

Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali condong mempunyai struktur yang kompleks tetapi tertata rapi. 

Rumah-rumah berarsitektur tradisional Bali tak cuma terdiri atas satu unit stuktur, namun lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. 

Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks ini ialah keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks bangunan ini dibangun tembok yang tak terlalu tinggi, tetapi cukup memisahkan dengan dunia luar.

Pada komplek bangunan ini terdapat satu Pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan untuk bersama, area untuk tidur, serta area untuk konferensi penting/perjamuan. 

Untuk tujuan itu, umumnya pada kompleks bangunan ini dibangun 2 macam, adalah paviliun untuk menerima tamu serta paviliun khusus untuk upacara adab dan ritual keagamaan.

Itulah pembahasan perihal Arsitektur Tradisional Bali yakni Konsep Dasar, Filosofi, dan Cirinya.
Referensi : indomondayharyadi.blogspot.com

Sumber https://www.arsimedia.com/


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)